Pentingnya Kebijakan Satu Data Indonesia

Oleh Hendri Achmad Hudori, S.ST, M.Si, Staf Pada BPS Aceh
Presiden Jokowi mengatakan bahwa data adalah jenis kekayaan baru, kini data bahkan lebih berharga dari minyak. Bagi pemerintah khususnya, data sangat penting untuk keperluan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Masalahnya, saat ini masih banyak data yang tumpang tindih dan kurang berkualitas. Kebijakan pemerintah tentang Satu Data Indonesia diharapkan mampu mengatasi persoalan tersebut.
Untuk melakukan perencanaan pembangunan diperlukan data sebagai acuan. Hal ini sesuai dengan UU No.25 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa data berkualitas, tujuan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai.
Kewenangan penyelenggaraan kegiatan statistik untuk menghasilkan data telah diatur oleh UU No.16 Tahun 1997. UU tersebut membagi kegiatan statistik menjadi 3, yaitu: statistic dasar, statistik sektoral, dan statistik khusus. Statistik dasar dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), statistik sektoral oleh kementerian/lembaga, dan statistik khusus oleh instansi tertentu dan masyarakat lainnya.
Permasalahan Data
Pembagian kewenangan tersebut bertujuan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penyediaan data. Namun demikian, polemik mengenai dualisme data pemerintah masih terjadi. Hal ini akan menimbulkan kebingungan bagi pemerintah ketika akan mengambil suatu kebijakan.
Misalnya, data penduduk. Data ini sangat strategis karena digunakan pemerintah sebagai alokator anggaran pembangunan yang akan diterima suatu daerah, seperti Dana Desa yang diterima setiap desa, dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima oleh setiap provinsi maupun kabupaten/kota.
Data penduduk berasal dari 2 sumber, yaitu BPS dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kedua data tersebut memiliki perbedaan jumlah karena mempunyai perbedaan konsep. BPS menggunakan konsep secara de facto sedangkan Kemendagri menggunakan konsep de jure.
Konsep de facto artinya penduduk dicatat dimana dia berada ketika disensus atau sudah tinggal menetap selama 6 bulan. Sementara konsep de jure, penduduk dicatat sesuai kartu identitasnya (KTP). Namun, saat ini perbedaan data penduduk tersebut sudah dapat diatasi melalui Sensus Penduduk 2020 (SP2020) yang dilaksanakan oleh BPS bekerja sama dengan Kemendagri dengan cara menggabungkan kedua konsep kependudukan de facto dan de jure sehingga terwujud satu data kependudukan. Hasil SP2020 jumlah penduduk Indonesia tercatat sebanyak 270,20 juta jiwa.
0 Response to "Pentingnya Kebijakan Satu Data Indonesia"
Post a Comment